Kamis, 23 Agustus 2012

Anakku, Belikan Ibu Sekantung Roti

Hari itu adalah hari Sabtu, sore menjelang malam di musim semi memiliki warna dan bau bagai jus jeruk segar.

Sejak pagi-pagi saya sudah berjanji dengan teman-teman akan jalan-jalan ke pasar malam, ternyata ibu menelpon pada jam akan pulang kantor, suaranya penuh keceriaan bagaikan anak gadis saja: “Besok kantor saya akan jalan-jalan ke luar kota untuk melihat
rumput hijau di musim semi, nanti ketika kamu pulang kantor tolong belikan sekantung roti kelapa di toko roti Tiramisu, saya akan membawanya sebagai bekal makan siang.”

“Jalan-jalan ke luar kota untuk melihat rumput hijau?”, saya terkejut mendengarnya, “Wah! Kalian masih bisa jalan-jalan ke luar kota untuk melihat rumput hijau?”

Tanpa berpikir panjang, saya segera menolaknya, “Bu, saya sudah janjian dengan teman akan ke luar jalan-jalan, saya tidak ada waktu.”

Setelah tawar menawar untuk waktu yang lama, ibu terus berkata: “Hanya membelikan sekantung roti saja, itu sangat cepat dan tidak akan memperlambat dirimu.”

Akhirnya karena nada suara ibu agak marah, saya dengan terpaksa menyanggupinya.

Karena ingin cepat-cepat menuntaskannya, maka begitu habis jam kantor saya segera menuju ke toko roti itu.

Namun begitu melihat kondisi di toko roti tersebut, hati saya segera amblas, sebab sangat ramai sekali, pelanggan berbaris panjang sampai di luar toko, tanpa tertahankan saya menjerit dalam hati.

Sambil berbaris dalam antrian panjang, saya berulang kali melihat pada jam tangan, sesekali juga bertanjak kaki untuk melihat ke dalam toko, setelah berdiri selama 20 menit, baru berhasil masuk ke dalam toko.

Saya berdiri sampai merasa berat di atas kepala. Lapar sampai mata berkunang-kunang, apalagi setelah terpikir teman-teman pasti sedang menunggu, saya terus mengentak-ngentakkan kaki karena kesal.

Angin semilir musim semi menghembus di sekeliling tubuh saya, ditambah lagi dengan semerbak roti siap panggang yang memabukkan, namun hati saya malah penuh dengan api amarah yang sewaktu-waktu siap meledak.

Benar-benar saya tidak tahu apa yang diinginkan ibu, hari Minggu tidak istirahat di rumah, malahan pergi jalan-jalan, apakah tubuhnya tahan?

Lagipula ke luar bersama-sama teman sejawat di kantornya, sekelompok perempuan lanjut usia jalan-jalan di musim semi, apa yang menyenangkan? Kebiasaan jalan-jalan di musim semi seharusnya merupakan kegiatan anak-anak. Ibu sudah sedemikian tua, kenapa masih jalan-jalan di musim semi?

Orang-orang di depan mulai bertengkar hebat karena masalah antrian. Ada orang yang antusias membantu, dia menghitungkan jumlah dan jenis roti yang dibeli setiap orang, serta mengaturkan urutan antrian.

Jika dihitung-hitung, saya adalah orang terakhir dari panggangan ketiga, paling tidak ada sedikit harapan, saya menarik napas lega dan mengganti dengan kaki satunya untuk berdiri.

Pada saat ini di belakang saya ada yang memangil dengan suara halus: “Nona.”

Saya berpaling, ternyata seorang ibu setengah umur yang tidak saya kenal.

Saya bertanya dengan ketus: “Ada apa?”

Dia berkata dengan senyum penuh kerendahan hati: “Nona, bolehkah kita berembuk sebentar? Lihat, saya hanya berjarak satu orang di belakangmu, namun harus menunggu satu kali panggang lagi. Saya ini membelikan roti untuk anak lelakiku, besok dia akan melakukan perjalanan jauh, nanti saya harus lekas pulang untuk masak nasi, malam masih harus mengantarkannya ke les. Jika kamu tidak terburu-buru, apakah boleh?..”

Wajahnya penuh dengan harapan, sambil bertanya, “Untuk siapa kamu belikan roti?”

Saya menjawab dengan wajar: “Untuk ibuku, besok dia akan pergi jalan-jalan ke luar kota untuk melihat rumput hijau di musim semi.”

Saya benar-benar tidak mengerti, begitu mendengar jawabanku, seluruh toko bagaikan tersenyap tanpa suara, semua pandangan mata mengarah padaku.

Ada orang yang bertanya dengan suara keras: “Belikan untuk siapa katamu?”

Sebelum saya sempat menjawab, pelayan toko berkata dengan tertawa: “Wah! Hari ini sudah terjual ratusan kantung roti, namun anda adalah orang pertama yang membelikan untuk ibunya.”

Saya terkejut mendengarnya, saya melihat ke sekeliling dan menemukan kalau hampir semua orang yang antri adalah wanita, dari wanita tua beruban sampai ibu muda, setiap orang terlihat sudah menjadi orangtua anak.

“Bagaimana dengan kalian?”

“Tentu saja dibelikan untuk raja cilik di rumah.” Tidak tahu siapa yang menyahut, namun semua orang tertawa jadinya.

Ibu yang berada di belakangku segera berkata: “Maaf! Saya tidak menyangka, benar-benar tidak menyangkanya. Toko ini demikian ramai, namun kamu rela menunggu, benar-benar tidak mudah. Awalnya saya sudah tidak mau datang lagi untuk membelinya, namun anakku bersikeras mau. Karena hanya setahun sekali, saya rela memberinya makan enak dan main enak. Ketika kita kecil dan akan berpergian jauh, bukankah juga ingin makan makanan ringan?”

Pada wajahnya seketika timbul kedambaan pada masa lalu, membuat orangnya terlihat menjadi lembut sekali.

Saya bertanya: “Apakah anda masih ingat akan perihal berpergian jauh di masa kecil?”

Dia tertawa: “Kenapa tidak ingat? Sekarang juga ingin pergi, setiap tahun juga menginginkannya, walau pun hanya duduk di atas rumput sambil menikmati siraman sinar matahari juga sudah cukup, biar bagaimana pun juga merupakan musim semi. Namun sayang tidak ada waktu.”

Dia mengeluhkan dengan suara kecil: “Mungkin kalau anakku sudah seusia kamu sekarang, barulah saya ada kesempatan untuk itu.”

Ternyata demikian adanya, jalan-jalan ke luar kota untuk melihat rumput hijau di musim semi bukan merupakan gerak hati sekonyong-koyong dari ibu, melainkan harapannya yang sudah terpendam selama puluhan tahun dalam lubuk hatinya. Namun kenapa saya tidak pernah memahaminya, sedangkan saya adalah anaknya.

Di dalam kantung plastik di tangannya ternyata berisi minuman, roti kering, gel buah dan makanan kesukaan anak-anak lainnya. Kantung plastik itu sungguh berat sehingga terlihat tubuhnya ikut miring sedikit, namun dia tetap tidak mau menaruhnya di lantai dan beristirahat sejenak, dia menjelaskan padaku: “Semua isi plastik ini tidak boleh terbentur atau tertekan.” Dia menunggu dengan tegar dan susah payah sambil memikul tanggung jawab menjaga barang-barang yang tidak boleh terbentur atau tertekan ini.

Dia mendesah dengan senyum tenang: “Siapa suruh saya seorang ibu? Saya harus bertahan sampai nantinya anakku tahu untuk membelikan sesuatu untukku.”

Dia memandang pada saya dalam-dalam dan berkata dengan suara penuh keyakinan, “Pokoknya hari itu sudah tidak lama lagi.”

Hanya karena keberadaan saya, apakah berhasil memberikan kepercayaan diri sedemikian besar padanya?

Seketika saya teringat pada diriku yang tadinya menolak sana sini pada ibu, hatiku mulai terasa pilu.

Pada saat ini, roti panggangan baru sudah dikeluarkan, harumnya menyebar ke mana-mana.

Ibu yang berada di depanku memalingkan muka dan berkata: “Mari kita berganti tempat saja, kamu beli dulu.”

Saya terpaku dan segera menolak: “Tidak usah, anda sudah menunggu lama.”

Namun dia sudah berada di belakangku, wajah tuanya penuh dengan bekas dari kerasnya kehidupan.

Suaranya lembut: “Namun ibumu sudah menunggu dua puluhan tahun.”

Ibu tua di depan juga menghindar dengan muka tersenyum. Orang yang di depannya juga melihat padanya sejenak dan menghindar juga. Saya melihat mereka satu persatu mengalah dengan tenang dan wajar.

Di depanku terbentang sebuah jalur yang langsung menuju ke kasir. Saya berdiri di ujung jalur dengan mata terbelalak dan mulut terbuka, bolak balik tanpa berani melangkah maju.

“Cepat”, ada orang yang mendesakku, “Ibumu sudah menunggu di rumah.”

Saya melihat pada setiap orang dari mereka dengan jantung berdebar, mereka memandang padaku dengan wajah tersenyum. Dalam tatapan mata mereka ada beban usia, namun juga ada keyakinan diri terhadap masa depan. Selebihnya adalah kelembutan tanpa batas. Seketika saya mengerti kalau yang mereka lihat bukanlah diriku, melainkan anak mereka yang sudah dewasa.

Apakah semua ibu sudah terbiasa tidak berkata susah, juga tidak meminta balasan, impian kecil mereka hanyalah suatu hari kelak anak mereka akan membelikan sekantung roti ketika pulang kerja.

Jalur menuju kasir ini terasa sangat panjang. Saya seakan berjalan dalam dekapan setiap ibu, bagaikan melewati kehidupan yang sangat panjang.

Dari seorang anak yang tahu tahu apa-apa berjalan sampai ujung kehidupan, akhirnya saya mengerti akan isi hati ibu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar